Pandemi Dan Tergerusnya Empati
Oleh : Gibran Hairudin
Lagi-lagi, ini ulasan tentang wabah yang melanda hampir seluruh penjuru dunia. Ya, wabah Virus Corona. Yang dalam istilah kedokteran disebut sebagai 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV).
Virus yang pertama kali muncul di Wuhan, salah satu kota di China ini telah menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang meninggal dunia. Suatu keadaan yang tak pernah terpikirkan, tak pernah diinginkan, terjadi begitu cepat. Dampak virus corona juga sangat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Kehebohan virus corona bermula dari sebuah pasar makanan laut Huanan di Kota Wuhan. Sekitar 375 orang yang beraktivitas di pasar tersebut, terserang infeksi virus dengan gejala demam, lemas, batuk kering, dan sesak nafas. Virus ini diduga berasal dari hewan kemudian menular ke manusia melalui udara. Pasar makanan laut Huanan seluas 50.000 meter persegi itu memang terkenal dengan jual beli bahan makanan dari hewan liar. Bahkan menyediakan ular, kelelawar, hingga musang, tentu saja selain ikan, kepiting, dan udang.
Virus corona terus menjadi momok menakutkan bagi semua negara. Termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, Pada awal Bulan Maret, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama pasien yang terinfeksi virus corona. 2 Pasien yang terinfeksi virus corona merupakan Ibu & anak yang sempat melakukan kontak dengan WNA Jepang yang datang ke Indonesia.
Penyebaran virus corona di Indonesia tergolong sangat cepat menyebar. Walaupun sangat minim kesigapan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona, pemerintah telah berupaya untuk secepatnya mengambil kebijakan guna memutus rantai penyebaran virus corona.
Langkah-langkah sigap yang diambil pemerintah dari pusat hingga ke daerah-daerah masif dilakukan. Mulai dari pendistribusian dana untuk kebutuhan fasilitas alat medis, menerbitkan protokol kesehatan penanganan virus corona dan sebagainya. Berbagai langkah yang dilakukan pemerintah bertujuan semata-mata untuk mencegah dan mengobati masyarakat dari virus corona ini. Himbauan untuk menjaga jarak fisik dan jangan keluar rumah apabila tidak terlalu urgen pun gencar dilakukan oleh pihak petugas keamanan.
Bahkan di Jakarta telah diterapkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) melalui Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang pelaksanaan “Pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan Corona Virus Disease 19 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Hal ini pun akan menjadi patokan bagi Pemerintah Daerah lain untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona di daerahnya masing-masing.
Tak bisa dipungkiri bahwa anjuran karantina mandiri maupun work from home tidak bisa direalisasikan di semua kalangan masyarakat Indonesia. Ada banyak pekerjaan yang tidak bisa dilakukan secara daring dan mau tidak mau harus tetap bekerja seperti biasanya, di luar rumah. Hal ini sudah pasti dikarenakan masalah perut dan tuntutan ekonomi. Namun selama masa pandemi, tidak sedikit para dermawan yang turut membantu membagikan kebutuhan-kebutuhan dasar kepada para pejuang jalanan.
Di tengah pandemi ini juga kita sering dikejutkan dengan beberapa masalah sosial yang terjadi akibat pengaruh virus corona. Penolakan untuk pemakaman dan penolakan tempat untuk karantina bagi korban atau pasien virus corona kerap terjadi di beberapa daerah. Betapa tergerusnya sikap empati ditandai juga dengan munculnya stigma sosial berujung diskriminasi yang sering ditujukan kepada orang-orang dari zona merah atau pasien yang terkonfirmasi terdampak virus corona.
Tempat khusus untuk karantina bagi pemudik atau orang yang dari zona merah bertujuan untuk mencegah peningkatan risiko penularan dan dilakukan pengawasan secara intens oleh petugas medis. Namun, entah Kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat atau pure kecemasan dari masyarakat setempat sehingga sering terjadi penolakan.
Dan juga sungguh menyayat hati tatkala jenazah korban virus corona yang hendak dikuburkan sedikit dipersulit akibat penolakan warga yang tidak terima adanya penguburan tersebut. Walaupun penguburan sudah dilakukan dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan tetap saja ketakutan para warga terlalu besar.
Mengenai kerap munculnya stigma sosial, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyerukan agar masyarakat tidak memberikan stigma terkait COVID-19. WHO meminta agar masyarakat menghindari penggunaan istilah tertentu yang memiliki arti negatif.
Stigma terkait covid-19 pada umumnya ada karena minimnya informasi mengenai pandemi. Hal ini bisa saja membuat kepanikan semakin meluas dan merugikan seseorang yang terjangkit virus corona. Tugas berat juga apabila di tengah pandemi ini kita harus melawan kepanikan massal.
Kunci untuk memutus rantai penyebaran virus ini adalah masyarakat. Di tengah masyarakat virus menyebar. Namun, di tengah masyarakat juga virus bisa dikalahkan.
Sikap memberikan stigma yang berujung diskriminasi adalah energi negatif jangan lagi dipancarkan di saat semua elemen masyarakat bahu membahu melawan wabah virus corona. Sikap empati dan peduli kemanusiaan harus di atas segala-galanya pada masa pandemi sekarang ini. Renungkan lagi budaya asli Indonesia yang diejawantahkan dalam Pancasila; Gotong Royong. Agar kita semakin peka terhadap permasalahan dan tidak mudah menerima stigma atau istilah tertentu yang memiliki arti negatif serta mendiskriminasi daerah atau orang yang terjangkit virus corona.
Referensi:
https://m.liputan6.com/news/read/4229705/opini-dukungan-sosial-vs-isolasi-sosial-stigma-corona-covid-19?utm_source=Mobile&utm_medium=copy-link&utm_campaign=Share_Hangin
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200318133120-20-484515/anies-penyebaran-corona-antarwarga-begitu-cepat
Gibran Hairudin
Komentar
Posting Komentar